Ketut Nurhayanti, atau yang akrab disapa Yanti, adalah Dosen Jurusan Akuntansi di Politeknik Negeri Bali (PNB) yang dikenal dengan kepribadiannya yang hangat dan penuh perhatian terhadap mahasiswanya. Dengan dedikasi dalam mengajar, Ia berhasil menciptakan hubungan yang erat dengan mahasiswa, menjadikannya sosok yang digemari karena mampu mendampingi mereka dalam belajar maupun keseharian.
Perjalanan akademisnya dimulai dari Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, di mana ia meraih gelar sarjana pada tahun 2010 dan kemudian melanjutkan pendidikan magister di tempat yang sama, hingga lulus di tahun 2013. Memiliki latar belakang akademis yang kuat serta pengalaman yang mendalam dalam dunia pendidikan, Yanti memiliki pandangan yang unik tentang pentingnya mencintai diri sendiri.
Wanita kelahiran 28 September 1987 ini sangat peduli dengan cara mencintai diri sendiri. Menurut Yanti, melalui berbagai aktivitas sehari-hari ia belajar mencintai diri sendiri dengan cara mengontrol emosi dan ego. Mencintai diri sendiri merupakan topik yang cukup luas. Namun, ia menekankan bahwa kita dapat mengambil beberapa contoh kasus yang viral, seperti kasus remaja yang memutuskan untuk bunuh diri. Ini adalah salah satu bentuk tindakan ekstrem dari tidak mencintai diri sendiri, dan hal ini memerlukan edukasi yang mendalam agar dapat dicegah.
Contoh perilaku sehari-hari yang sering kali dianggap normal namun juga merupakan bentuk tidak mencintai diri sendiri adalah menyontek dan menunda pekerjaan. Menurut Yanti, ketika seseorang menyontek, mereka seolah-olah sedang menanamkan keyakinan pada diri sendiri bahwa mereka tidak mampu mengerjakan sesuatu tanpa menipu. Menyontek adalah tindakan yang mengikis rasa percaya diri terhadap kemampuan diri. Oleh karena itu, salah satu cara mencintai diri sendiri adalah dengan menghargai kemampuan diri. Adapun kebiasaan menunda pekerjaan ini juga sering kali dianggap sepele, tetapi sebenarnya bisa menjadi masalah yang serius. Yanti menegaskan ada pandangan bahwa menunda pekerjaan merupakan kebiasaan yang bisa berkembang menjadi penyakit jika tidak diatasi sejak dini.
Selain itu, banyak orang yang salah kaprah antara konsep self-love dan egoisme, mencintai diri sendiri bukanlah tentang memperbesar ego. Rasa ego dan mencintai diri sendiri adalah dua konsep yang berbeda. Memberi makan ego terlalu besar dapat membuat seseorang menjadi narsistik, sementara mencintai diri sendiri berarti menumbuhkan kedamaian dalam diri. Artinya, mengikis kebencian, prasangka, dan dugaan negatif dalam diri. Selain rasa ego, di era sekarang banyak juga orang yang salah mengartikan self-love dengan memanjakan diri tanpa batas (self-reward), misalnya menghabiskan seluruh gaji untuk hal-hal yang tidak mendasar, sementara kebutuhan pokok terabaikan. Pada konsep self-love, self-control juga sangat penting agar tidak berlebihan.
Yanti juga menjelaskan bahwa rasa tidak enak hati terhadap orang lain pun merupakan bentuk dari self-love, tetapi hal itu perlu dipertimbangkan tergantung di mana dan dalam kondisi apa perasaan itu muncul. Misalnya, saat kamu sedang lapar, namun melihat ada anak lain yang jauh lebih lapar, lalu kamu memutuskan untuk berbagi makanan dengannya meskipun itu membuatmu tetap lapar. Ini adalah contoh dari mencintai diri sendiri yang melibatkan kepedulian terhadap orang lain. Tetapi, jika merasa tidak enakan secara terus-menerus itu termasuk bentuk ketidakmampuan untuk mencintai diri sendiri. Menurutnya, banyak orang dapat memperhatikan kebutuhan orang lain, tetapi mengabaikan kebutuhan dirinya sendiri. Ada banyak indikator yang memengaruhi hal ini, salah satunya adalah pola asuh orang tua yang selalu menyuruh anak-anaknya untuk mengalah kepada saudara-saudaranya. “Ini bisa menjadi memori yang tertanam di alam bawah sadar,” tambahnya. Yanti juga menegaskan, “Lakukanlah kewajibanmu meskipun hasilnya tidak maksimal, itu lebih mulia dibandingkan kamu melakukan kewajiban orang lain tetapi hasilnya maksimal.”
Yanti juga menyebutkan bahwa salah satu hal penting yang harus diajarkan kepada generasi sekarang adalah kemampuan problem solving (pemecahan masalah), termasuk mencari solusi. “Berpikirlah terlebih dahulu sebelum berbuat. Terkadang, setiap perbuatan pasti ada konsekuensinya. Kita tidak bisa mengatakan bahwa semuanya akan bahagia dengan keputusan kita, karena terkadang konsekuensinya bisa di luar ekspektasi kita,” ujarnya. Yanti mengingatkan bahwa sebagai individu yang ingin tumbuh menjadi lebih dewasa, tiga hal tersebut berpikir sebelum bertindak, memahami konsekuensi, dan kesiapan menerima hasil harus diterapkan dan dilatih.
Sebagai individu yang telah menjalani berbagai pengalaman hidup, dosen agama Hindu ini memiliki cara pandang yang mendalam tentang pentingnya mencintai diri sendiri. “Saya adalah tipe orang yang suka berdialog dengan diri sendiri. Menurut saya, salah satu cara untuk mencintai diri sendiri adalah dengan tidak mengabaikan diri sendiri. Saya sering merekam dan mengoreksi diri sendiri. Apabila ada yang kurang, saya akan memperbaikinya,” ungkap Yanti. “Terkadang, saya memupuk rasa dalam diri, seperti ‘Kamu luar biasa hebat.’ Saya terbiasa bercermin dan berdialog, mengatakan pada diri sendiri, ‘Kamu cantik, kamu hebat.’ Itu adalah kebiasaan yang saya lakukan.”
Nurhayanti percaya bahwa tidak ada sebab tanpa akibat. “Sesuatu yang saya dapatkan adalah hasil dari sesuatu yang saya lakukan. Kamu perlu dewasa untuk menerima dampak dari apa yang telah kamu lakukan. Mahasiswa sekarang belajar dan mau belajar, yang harus diingat adalah belajar untuk menerima. Hujatan, hinaan, dan persepsi buruk orang terhadap kita cukup dilihat dan dilewati saja, karena itu hanya menghabiskan energi kita. Bukan berarti ketika kamu menjadi orang baik, hidupmu akan selalu baik-baik saja. Maka dari itu, kita harus belajar untuk menerima keadaan. Ibaratnya, jika kamu menyukai pelangi, kamu harus menerima adanya hujan, karena hanya setelah hujan ada pelangi.”
Mencintai diri sendiri pun memiliki batasan, ini diperlukan untuk menjaga kontrol dalam diri. Hal ini karena manusia memiliki kebebasan yang seharusnya dibatasi. Tanpa batasan, kebebasan itu dapat membuat seseorang menjadi tidak terarah. “Usia bertambah itu pasti, tetapi menjadi dewasa adalah pilihan,” tegas Ibu Nurhayanti.
Menurut wanita asal Makassar ini, cinta itu lebih terkait dengan ego, sementara kasih itu lebih kepada penerimaan diri. “Cinta itu seperti, ‘Aku akan sakit hati banget kalau kamu tidak mencintaiku juga,’ tetapi mengasihi itu lebih seperti, ‘Aku tidak apa-apa ketika kamu tidak mencintaiku’.” Bagi beliau, cinta itu cukup satu, sementara mengasihi bisa dilakukan kepada banyak orang. Jadi, lebih baik kita fokus pada mengasihi. Jika mengasihi itu menyakitkan, cukup terima dan keluarkan perasaan tersebut. “Do it and forget it,” tegasnya. Kebaikan yang kita lakukan sebaiknya dilaksanakan dengan tulus dan dilupakan, agar kita tidak meracuni diri sendiri dengan tumpukan kebaikan yang seharusnya membawa kebahagiaan.
“Menemukan passion sejati bukanlah perjalanan lurus, tapi petualangan penuh kejutan...
Ketut Nurhayanti, atau yang akrab disapa Yanti, adalah Dosen Jurusan...
Dadan Moch Rhamdan yang akrab disapa Damar nyatanya memiliki filosofi...
Sebagai mahasiswa, hampir seluruh kegiatan yang kita lakukan akan selalu...
Dalam dunia yang semakin kompetitif, Lia Saraswati muncul sebagai sosok...
Politeknik Negeri Bali (PNB) kembali menyelenggarakan papermob setelah lima tahun...
Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Reduce, Reuse, Recycle (3R) yang berlokasi...
Setiap orang pasti pernah merasakan rasa insecure. Lalu, apa sebenarnya...
Ketut Nurhayanti, atau yang akrab disapa Yanti, adalah Dosen Jurusan Akuntansi di Politeknik Negeri Bali (PNB) yang dikenal dengan kepribadiannya yang hangat dan penuh perhatian terhadap mahasiswanya. Dengan dedikasi dalam mengajar, Ia berhasil menciptakan hubungan yang erat dengan mahasiswa, menjadikannya sosok yang digemari karena mampu mendampingi mereka dalam belajar maupun keseharian.
Perjalanan akademisnya dimulai dari Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, di mana ia meraih gelar sarjana pada tahun 2010 dan kemudian melanjutkan pendidikan magister di tempat yang sama, hingga lulus di tahun 2013. Memiliki latar belakang akademis yang kuat serta pengalaman yang mendalam dalam dunia pendidikan, Yanti memiliki pandangan yang unik tentang pentingnya mencintai diri sendiri.
Wanita kelahiran 28 September 1987 ini sangat peduli dengan cara mencintai diri sendiri. Menurut Yanti, melalui berbagai aktivitas sehari-hari ia belajar mencintai diri sendiri dengan cara mengontrol emosi dan ego. Mencintai diri sendiri merupakan topik yang cukup luas. Namun, ia menekankan bahwa kita dapat mengambil beberapa contoh kasus yang viral, seperti kasus remaja yang memutuskan untuk bunuh diri. Ini adalah salah satu bentuk tindakan ekstrem dari tidak mencintai diri sendiri, dan hal ini memerlukan edukasi yang mendalam agar dapat dicegah.
Contoh perilaku sehari-hari yang sering kali dianggap normal namun juga merupakan bentuk tidak mencintai diri sendiri adalah menyontek dan menunda pekerjaan. Menurut Yanti, ketika seseorang menyontek, mereka seolah-olah sedang menanamkan keyakinan pada diri sendiri bahwa mereka tidak mampu mengerjakan sesuatu tanpa menipu. Menyontek adalah tindakan yang mengikis rasa percaya diri terhadap kemampuan diri. Oleh karena itu, salah satu cara mencintai diri sendiri adalah dengan menghargai kemampuan diri. Adapun kebiasaan menunda pekerjaan ini juga sering kali dianggap sepele, tetapi sebenarnya bisa menjadi masalah yang serius. Yanti menegaskan ada pandangan bahwa menunda pekerjaan merupakan kebiasaan yang bisa berkembang menjadi penyakit jika tidak diatasi sejak dini.
Selain itu, banyak orang yang salah kaprah antara konsep self-love dan egoisme, mencintai diri sendiri bukanlah tentang memperbesar ego. Rasa ego dan mencintai diri sendiri adalah dua konsep yang berbeda. Memberi makan ego terlalu besar dapat membuat seseorang menjadi narsistik, sementara mencintai diri sendiri berarti menumbuhkan kedamaian dalam diri. Artinya, mengikis kebencian, prasangka, dan dugaan negatif dalam diri. Selain rasa ego, di era sekarang banyak juga orang yang salah mengartikan self-love dengan memanjakan diri tanpa batas (self-reward), misalnya menghabiskan seluruh gaji untuk hal-hal yang tidak mendasar, sementara kebutuhan pokok terabaikan. Pada konsep self-love, self-control juga sangat penting agar tidak berlebihan.
Yanti juga menjelaskan bahwa rasa tidak enak hati terhadap orang lain pun merupakan bentuk dari self-love, tetapi hal itu perlu dipertimbangkan tergantung di mana dan dalam kondisi apa perasaan itu muncul. Misalnya, saat kamu sedang lapar, namun melihat ada anak lain yang jauh lebih lapar, lalu kamu memutuskan untuk berbagi makanan dengannya meskipun itu membuatmu tetap lapar. Ini adalah contoh dari mencintai diri sendiri yang melibatkan kepedulian terhadap orang lain. Tetapi, jika merasa tidak enakan secara terus-menerus itu termasuk bentuk ketidakmampuan untuk mencintai diri sendiri. Menurutnya, banyak orang dapat memperhatikan kebutuhan orang lain, tetapi mengabaikan kebutuhan dirinya sendiri. Ada banyak indikator yang memengaruhi hal ini, salah satunya adalah pola asuh orang tua yang selalu menyuruh anak-anaknya untuk mengalah kepada saudara-saudaranya. “Ini bisa menjadi memori yang tertanam di alam bawah sadar,” tambahnya. Yanti juga menegaskan, “Lakukanlah kewajibanmu meskipun hasilnya tidak maksimal, itu lebih mulia dibandingkan kamu melakukan kewajiban orang lain tetapi hasilnya maksimal.”
Yanti juga menyebutkan bahwa salah satu hal penting yang harus diajarkan kepada generasi sekarang adalah kemampuan problem solving (pemecahan masalah), termasuk mencari solusi. “Berpikirlah terlebih dahulu sebelum berbuat. Terkadang, setiap perbuatan pasti ada konsekuensinya. Kita tidak bisa mengatakan bahwa semuanya akan bahagia dengan keputusan kita, karena terkadang konsekuensinya bisa di luar ekspektasi kita,” ujarnya. Yanti mengingatkan bahwa sebagai individu yang ingin tumbuh menjadi lebih dewasa, tiga hal tersebut berpikir sebelum bertindak, memahami konsekuensi, dan kesiapan menerima hasil harus diterapkan dan dilatih.
Sebagai individu yang telah menjalani berbagai pengalaman hidup, dosen agama Hindu ini memiliki cara pandang yang mendalam tentang pentingnya mencintai diri sendiri. “Saya adalah tipe orang yang suka berdialog dengan diri sendiri. Menurut saya, salah satu cara untuk mencintai diri sendiri adalah dengan tidak mengabaikan diri sendiri. Saya sering merekam dan mengoreksi diri sendiri. Apabila ada yang kurang, saya akan memperbaikinya,” ungkap Yanti. “Terkadang, saya memupuk rasa dalam diri, seperti ‘Kamu luar biasa hebat.’ Saya terbiasa bercermin dan berdialog, mengatakan pada diri sendiri, ‘Kamu cantik, kamu hebat.’ Itu adalah kebiasaan yang saya lakukan.”
Nurhayanti percaya bahwa tidak ada sebab tanpa akibat. “Sesuatu yang saya dapatkan adalah hasil dari sesuatu yang saya lakukan. Kamu perlu dewasa untuk menerima dampak dari apa yang telah kamu lakukan. Mahasiswa sekarang belajar dan mau belajar, yang harus diingat adalah belajar untuk menerima. Hujatan, hinaan, dan persepsi buruk orang terhadap kita cukup dilihat dan dilewati saja, karena itu hanya menghabiskan energi kita. Bukan berarti ketika kamu menjadi orang baik, hidupmu akan selalu baik-baik saja. Maka dari itu, kita harus belajar untuk menerima keadaan. Ibaratnya, jika kamu menyukai pelangi, kamu harus menerima adanya hujan, karena hanya setelah hujan ada pelangi.”
Mencintai diri sendiri pun memiliki batasan, ini diperlukan untuk menjaga kontrol dalam diri. Hal ini karena manusia memiliki kebebasan yang seharusnya dibatasi. Tanpa batasan, kebebasan itu dapat membuat seseorang menjadi tidak terarah. “Usia bertambah itu pasti, tetapi menjadi dewasa adalah pilihan,” tegas Ibu Nurhayanti.
Menurut wanita asal Makassar ini, cinta itu lebih terkait dengan ego, sementara kasih itu lebih kepada penerimaan diri. “Cinta itu seperti, ‘Aku akan sakit hati banget kalau kamu tidak mencintaiku juga,’ tetapi mengasihi itu lebih seperti, ‘Aku tidak apa-apa ketika kamu tidak mencintaiku’.” Bagi beliau, cinta itu cukup satu, sementara mengasihi bisa dilakukan kepada banyak orang. Jadi, lebih baik kita fokus pada mengasihi. Jika mengasihi itu menyakitkan, cukup terima dan keluarkan perasaan tersebut. “Do it and forget it,” tegasnya. Kebaikan yang kita lakukan sebaiknya dilaksanakan dengan tulus dan dilupakan, agar kita tidak meracuni diri sendiri dengan tumpukan kebaikan yang seharusnya membawa kebahagiaan.