E-Mandiri

Semoga Hari Ini Lebih Baik Dari Hari Kemarin

Oleh @Ni Luh Gede Diva Pratiwi

Semilir angin pagi menerbangkan tirai putih tipis dalam kamarnya, dingin merayap merangsek masuk bersama dengan hangat sinar sang mentari. Hari minggu pagi gadis dalam balutan selimut pink itu masih meringkuk di dalam kamarnya yang dihiasi piagam, medali, hingga piala. Namanya Arista, mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis salah satu perguruan tinggi di Indonesia.

Kakinya baru beranjak ke luar setelah dering alarm untuk yang ketiga kalinya. Sampai di teras, dilihatnya adik sepupunya tengah bermain dengan siput kecil di dekat pohon kamboja dalam rumah. Senyum sumringah muncul tatkala ide jahil melintasi pikirannya. Kaki Arista melangkah perlahan ke belakang adiknya sementara kedua tangannya sudah siap menarik sang adik ke dalam pelukan, memutar-mutar tubuh kecil itu di udara. Hanya tawa keduanya yang terdengar sebenarnya, tidak ada yang salah, hanya saja jiwa orang tua yang khawatir berhasil menghentikannya.

“Kakak! Kamu apain adikmu?!”

Lelaki paruh baya yang merupakan ayah Arista datang dengan sepiring penuh nasi, duduk di teras rumah. “Ini gak kenapa-kenapa kok adiknya,” Arista menyahuti.

“Nyapu dulu sana, anak gadis kok bangun siang, liat tuh si Sri jam 5 pagi udah bangun nyapu, bantuin ibunya masak,” Arista sudah mendengarnya berkal-kali sejak kecil, tapi hatinya tetaplah sedih.

“Iya, Pak,” Arista beranjak lagi mengambil sapu ijuk di ujung rumah, menyapu sedikit demi sedikit dari halaman hingga kamarnya. Lapar sebenarnya, tapi ya sudahlah, sebagai kakak apapun yang terjadi tidak boleh ada yang tahu ia mengeluh. Jam 8 pagi setelah duduk-duduk di dalam kamar barulah ia ke dapur mengambil sepiring nasi yang sudah disiapkan ibunya.

“Kak, ibu mau pinjam 50 ribu, kamu ada?” seorang wanita paruh baya menepuk punggungnya dari belakang.

Arista menolehkan kepalanya, “Buat apa, Bu?” sahutnya.

“Buat beli bahan kue, uang Ibu kurang,” Arista mengangguk pelan, “Ada kok, Ibu ambil aja di dompetku,” timpalnya.

“Nanti ibu balikin, ya,” wanita itupun hendak berbalik, tapi sebelum itu Arista tersenyum tipis, “Gak usah dibalikin Bu, ambil aja,” Ibunya terdiam sejenak kemudian mengangguk, “Iya,” katanya.

Sepeninggal sang ibu, Arista menghela napas panjang, bahunya merosot, tidak satu pun dari rencananya yang berjalan lancar. Meskipun dia masuk perguruan tinggi bagus, tapi keinginannya sejak kecil benar-benar berbeda. Impian masa kecilnya dari mengada-ada saat ditanya guru.

”Saya mau seperti Ibu guru! Mengajari teman-teman jadi pintar!”

Arista tersenyum miris, dia senang sekali saat orang-orang mengatakan ia pintar dan bisa membantu teman-temannya belajar. Sayang sekali impian itu tidak bisa terwujud bagi anak buruh tani dan penjual kue sepertinya. Pernah juga dia berpikir untuk kuliah hukum atau psikologi, tapi lagi-lagi harus dikubur dalam-dalam.

Siang menuju sore di hari yang sama, Arista mendekam di kamarnya untuk belajar, IPK 4 yang diraihnya semester satu kemarin harus dipertahankan. Hinggga tak lama kemudian ponsel di ujung tempat tidurnya berdering, nama Pradita tepampang di sana. Laki-laki itu adalah teman seperjuangannya sejak SMK dan kini berada di kelas yang sama dengannya. Arista menghela napas sebelum menaruh benda tipis itu ke dekat telinganya.

“Halo?”

“Udah buat tugasnya Bu Minah? Liat dong, cantik, aku belum nih.”

Arista menggeleng pelan, sudah terbiasa dengan segala bujuk rayu sahabatnya.

“Ngapain dari seminggu belum buat? Siapa lagi yang kamu ajak nge-date?”

“Aku nge-date sama Jamal, kasihan udah lama gak aku ajak jalan-jalan.”

“Dita, aku tau kamu stres, tapi Jamal itu motor bebekmu!!” Arista memijat pelipisnya pusing.

“Kamu gak mau aku ajak nge-date, jadi aku ke luar sama Jamal.”

“Jangan ngambek kayak cewek PMS, nanti aku kirim jawabanku,” final Arista sebelum terdengar sorak gembira di seberang telepon.

Setelah perbincangan dengan Pradita, ia baru menyadari grup kelasnya sudah banjir pesan sedari tadi. Ada 285 pesan tidak terbaca yang kalau diringkas isinya adalah keluhan tugas Bu Minah dan soal latihan akuntansi sistem ‘Roro Jongrang’, alias kebut semalam. Arista hanya bisa tertawa melihat keluhan dibalut guyonan teman-temannya. Diketiknya satu pesan di sana, ‘liat punyaku aja, tapi jangan dikasih ke orang lain,’ katanya direspon gembira, beberapa di antaranya berujar, ‘Arista yang terbaik!’ atau ‘orang pintar gak belajar pun tetap pintar.’ Andai bisa seperti itu Arista juga mau.

Masih asik melucu bersama teman-temannya, terdengar perdebatan dari Arka, adik kandungnya dengan sang ayah. Permasalahan mereka itu-itu saja, tapi adiknya yang keras kepala dan ayahnya yang tidak mau disalahkan bukanlah perpaduan yang bagus.

“Nge-game aja terus! Liat kakakmu! Pintar, bisa lomba ke mana-mana, gak kayak kamu!!”

Jika kalimat ini sudah ke luar, Arka tidak akan bisa berkutik. Sebagai kakak, Arista juga merasakan perasaan Arka, sedih dibandingkan dan diremehkan seperti itu, apalagi pembandingnya adalah saudara sendiri.

“Pak, udah, Arka ‘kan bilang mau jadi programmer, jurusan dia yang sekarang juga nyambung kok. Bapak gak usah khawatir, nanti kakak bantu bimbing Arka,” sela Arista di pintu kamar sang adik.

“Bimbing gimana?! Kamu lomba kemarin cuma dapet juara harapan 3!”

Arista menatap ayahnya lelah, tapi itu lomba nasional yang diikuti ratusan peserta. “Pak, jangan paksain yang  gak bisa Bapak lakuin dulu ke kami, Arista sama Arka udah berusaha dengan cara masing-masing. Bapak mau kita lebih baik dari Bapak sama Ibu ‘kan? Kami berusaha, tapi sampai mana kami ngejar kepuasan Bapak itu?”

Hening menghinggapi seluruh kamar Arka, entah keberanian dari mana Arista bisa mengungkapkan isi hatinya dari lama. Arista tau mungkin perkataannya bisa menyebabkan pertengkaran lain. Tapi kalau tidak hari ini, kapan?

“Kak….” Tangan keriput sang ayah menangkup pipi kanannya, tanpa disadari ada setetes air mata di sana.

“Kakak… Maaf, maafin Bapak,” siapa yang bilang laki-laki tidak boleh menangis dan harus tangguh? Siapa yang mengatakannya hingga membuat ayahnya seperti ini? Arista tidak mau menyalahkan ayahnya, pria 45 tahun itu hanya tidak bisa menunjukkan kasih sayangnya dengan benar dan ia serta adiknya masihlah remaja labil yang bergantung pada orang tua.

Arista merasa konyol seperti ini di hadapan kedua lelaki itu, pada akhirnya yang mereka butuhkan hanya bicara dengan keluarganya.

“Kakak, adik, ayo makan, Ibu buat sop ayam tadi,” usapan lembut sang ibu di helaian rambutnya tidak menyudahi buliran yang jatuh dari mata gadis itu, “Gak apa-apa, ayo makan,” ucal ibunya tersenyum lembut.

“Iya, bu,” satu senyum tulus juga lepas darinya menggandeng tangan ibunya ke dapur di penghujung hari ini bersama dengan turunnya sang surya ke peristirahatan.

UKM Jurnalistik @2022, All Right Reserved