E-Mandiri

Bianglala Merah

Oleh @Ni Putu Dian Kusuma Aryanti

Kelap kelip lampu malam itu membuat suasana Desa Nandrala menjadi kian ramai dan hangat. Di bawah naungan malam yang bertabur bintang, lampu-lampu berwarna-warni bersinar lembut, menyulam udara dengan cahaya yang membuai pandangan. Suara tawa dan canda mengalun, mengiringi langkah riang orang-orang di antara kios yang berderet. Ukiran dan maskot besar yang ada di pintu masuk menjadi pertanda bahwa Festival Raya Nandrala kini dimulai. Setiap tahun menjelang panen, festival itu dibuka pada malam Rabu. Tidak ada yang tahu alasan dan siapa yang mengadakan festival itu. Hamparan rumput hijau di barat laut desa menjadi tempat yang pas festival ini diadakan. Pemandangan gunung yang memanjakan mata dengan udara sejuk menjadikan festival ini bak negeri dongeng.

Terdapat banyak wahana permainan yang mengasyikkan dan kios-kios dengan menguar aroma harum makanan yang menggoda. Kora-kora, komedi putar, dunia balon, dan kereta putar menjadi wahana favorit pengunjung. Tetapi tidak ada yang berani untuk menaiki bianglala merah dipojok utara itu. Bianglala merah masih menjadi misteri dan puncak dari festival itu. Padahal bianglala itu sangat megah di antara wahana bermain lain dan berada tepat membelakangi gunung. Bukankah itu sangat mengagumkan?

Namun warga desa di Desa Nandrala itu tidak ada seorang pun yang berani menaiki wahana tersebut. Tepat setahun lalu terdapat seorang gadis yang memilih mengakhiri hidupnya tepat setelah menaiki bianglala merah itu. Hal ini menjadi rumor yang beredar luas ke seluruh desa. Bianglala merah itu menyimpan rahasia kelam di balik cahaya merah yang menyinari malam. Konon, siapa pun yang menaikinya akan melihat hal-hal yang tak kasat mata, momen- momen yang terperangkap dalam masa lalu, dan dipengaruhi bayangan hitam untuk mengakhiri hidupnya.

Malam itu, seorang gadis bernama Minara berdiri di depan bianglala dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Tertarik untuk membuktikan rumor itu, memutuskan untuk menaiki bianglala merah itu seorang diri. Dengan keberaniannya Minara melangkah masuk ke kabin bianglala merah itu. Pintu kabin tertutup perlahan, dan suara festival di bawahnya perlahan menghilang seiring kabin yang terangkat naik. Pemandangan yang sangat indah mulai terlihat dari atas kabin. Kelap kelip lampu festival terlihat seperti kunang-kunang yang bercahaya. Malam semakin pekat, dan kabin terasa sunyi. Tapi di sinilah sesuatu yang luar biasa mulai terjadi.

Di kaca jendela, Minara melihat bukan pemandangan desa yang biasa, melainkan bayangan-bayangan yang tidak ia kenal, seperti fragmen kenangan yang datang dari masa lalu. Ada seorang pria dengan mantel panjang sedang berdiri di depan bianglala, memandang ke arah desa yang redup. Wajahnya samar, namun terlihat sedih, seolah ada kerinduan yang tak terucapkan. Di bayangan lainnya, ada seorang gadis dengan gaun merah berdiri di sampingnya, namun sosoknya semakin memudar seperti asap yang tertiup angin.

Minara merasakan desiran di hatinya, seolah ia dapat mendengar percakapan yang tak terucapkan antara pria dan gadis itu. Sepenggal suara lirih terdengar, “Aku akan menunggu di sini, di bianglala merah ini.” Dan seketika itu, bayangan mereka menghilang.

Saat kabin mendekati puncak, Minara menyadari sesuatu yang aneh. Bianglala ini tidak bergerak ke bawah seperti biasanya, melainkan berhenti di puncak bianglala. Angin malam

 

meniupkan aroma lembut, membawa kesunyian yang dalam. Di kejauhan, Minara melihat bayangan samar pria itu lagi, tersenyum di antara kerlip cahaya festival. Lalu kabin perlahan bergerak turun, dan bayangan itu menghilang bersama kesedihan yang membekas dalam ingatannya.

Ketika pintu kabin terbuka, Minara keluar dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada sebuah misteri yang tersimpan dalam bianglala merah itu. Minara merasa ada ikatan dengan pria dan gadis itu, tetapi ia tidak mengingat apa pun. Seakan semua bayangan itu akan terjadi di masa depan. Rasa takut, bingung dan sedih bercampur aduk menjadi satu.

Dengan langkah gontai dan tak tentu arah, Minara mengusap lengannya yang dingin. Sesekali menghembuskan nafas berat untuk menenangkan dirinya. Tak terasa ia sampai di danau dekat kaki gunung. Cahaya rembulan seakan berbisik memberitahu Minara bahwa ia tidak sendiri. Minara yakin, rumor yang beredar setelah menaiki bianglala merah tidak membuat seseorang terbunuh. Melainkan memberi gambaran akan masa depan yang mungkin terjadi. Minara seakan teringat sosok ayah yang sangat ia sayangi yang menghidupinya dengan penuh kerja keras dan kasih sayang yang melimpah. Walaupun ia hanya tinggal bersama ayahnya, Minara tak ingin berpisah dan kehilangan sosok ayah.

Kepingan pazzel kini semakin jelas.

Minara tak mengharapkan gambaran di bianglala merah itu terjadi. Tapi...

Manusia dapat memilih untuk siap menghadapi masa depan atau mengakhiri masa depan. Hal itu hanya akan ditemukan oleh mereka yang memiliki keberanian untuk mencari.

E-Mandiri

Jl. Kampus Bukit, Jimbaran, Kec. Kuta Sel., Kabupaten Badung, Bali 80364
@redaksimandiri Persma Mandiri PNB
UKM Jurnalistik @2022, All Right Reserved