"Tidak ada satupun dari kita yang bisa menciptakan perubahan jika kita terus memandang diri kita sendiri sebagai bagian dari kesamaan," sebuah ungkapan yang dikemukakan oleh Gloria Marie Steinem, seorang jurnalis dan aktivis Amerika. Kutipan ini menekankan pentingnya menghargai perbedaan untuk menciptakan perubahan yang positif dalam masyarakat. Sebuah tim yang terdiri dari individu dengan latar belakang yang berbeda secara etnis, budaya, sosial, atau pendidikan akan memiliki lebih banyak kemungkinan untuk memecahkan masalah secara kreatif daripada tim yang homogen.
Namun, sangat disayangkan dalam lingkungan kampus yang seharusnya menjadi tempat yang inklusif dan mendorong kreativitas serta inovasi, minoritas kerap diperlakukan dengan kurangnya rasa hormat ketika mereka mengeluarkan ide-ide baru. Mahasiswa minoritas juga seringkali dihadapkan pada stereotip bahwa nilai-nilai budaya mereka tidak sejalan dengan ekspektasi akademik atau industri. Struktur kekuasaan yang ada di kampus juga dapat menjadi penghalang bagi minoritas yang ingin berinovasi. Posisi-posisi penting sering kali dipegang oleh orang-orang dari mayoritas, yang dapat mempengaruhi keputusan dan alokasi sumber daya sehingga ide-ide dari minoritas tidak mendapat perhatian yang layak.
Stereotip buruk yang dilontarkan terhadap mahasiswa minoritas, termasuk dalam konteks perbedaan ras, agama, dan suku, tidak hanya merupakan masalah moral, tetapi juga menciptakan keadaan yang buruk dan signifikan bagi perkembangan inovasi dan kreativitas di lingkungan kampus. Sangat terlihat dampak yang ditimbulkan yaitu terciptanya hambatan-hambatan yang membatasi mahasiswa minoritas untuk mengeluarkan potensi kreatif diri dalam berinovasi mereka sepenuhnya. Misalnya, mahasiswa yang menganut agama minoritas, mahasiswa yang berasal dari luar Bali dengan daerah terpencil sering menghadapi tekanan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma dan ekspektasi mayoritas, yang mungkin tidak selalu mendukung atau mempromosikan ekspresi kreativitas yang bebas.
Kesempatan berinovasi, dan mengeluarkan ide – ide baru tampak semakin sulit karena semakin banyak orang berperilaku egois atau membentuk kelompok yang memicu terjadinya konflik di lingkungan kampus. Upaya untuk mendorong mahasiswa dalam bersikap toleransi perlu ditingkatkan, terutama dengan mengedukasi mahasiswa tentang pentingnya menghargai perbedaan dan mempraktikkan toleransi. Mahasiswa harus memahami tanggung jawab moral mereka sebagai generasi muda dalam menciptakan lingkungan sosial yang inklusif. Lingkungan yang dapat menjadi wadah inovasi baru dari kalangan manapun sehingga kaum minoritas mampu membuktikan pengaruhnya untuk perubahan. Contoh, Lukas Norman Kbarek, seorang Mahasiswa dari Universitas Pendidikan Ganesha Bali, yang mampu berjuang menjadi finalis Duta Muda ASEAN 2019. Ia menepis segala stereotip tentang orang Papua sebagai minoritas di Indonesia dan juga mampu membuktikan bahwa berada di lingkungan yang menyetarakan keberagaman tanpa memandang latar belakang minoritas menjadi faktor bagi minoritas itu berkembang, berinovasi dan menyuarakan ide-ide mereka. Keterlibatan aktif mereka dalam organisasi kemahasiswaan dapat menjadi tempat yang tepat untuk mengumpulkan mahasiswa dari berbagai suku, agama, dan budaya, serta menjadi sarana untuk memperkenalkan keanekaragaman budaya Indonesia.
Perbedaan adalah suatu keberagaman, yang bisa kita lakukan adalah menerima perbedaan tersebut dan menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan. Perbedaan bukan justru kita jadikan sumber konflik melainkan sebisa mungkin kita jadikan tolak kekuatan untuk membangun kehidupan yang harmonis, damai, dan penuh toleransi, sehingga kedamaian di dunia bisa betul-betul terwujud. Perbedaan yang beraneka ragam, mulai dari kebudayaan stereotip dan persepsi sering kita jumpai di bangku perkuliahan. Mahasiswa memiliki peran penting dalam memperkuat moderasi keberagaman di masyarakat. Mahasiswa dapat berperan sebagai pemimpin dalam memperkuat sikap inklusif dan toleransi di tengah-tengah masyarakat. (tdw, may)
Berbicara tentang keberagaman, tentunya tidak pernah lepas dari kata perbedaan....
"Tidak ada satupun dari kita yang bisa menciptakan perubahan jika...
Dalam era globalisasi ini, keberagaman di kalangan mahasiswa memainkan peran...
Perpustakaan merupakan jantung dari sebuah perguruan tinggi. Namun, perpustakaan sering...
Seiring perkembangan teknologi, maka semakin berkembang bidang usaha. Sebagian orang...
Anak Agung Putri Indrayanti, ST. MT, atau yang akrab disapa...
Di era globalisasi ini, hubungan antarbudaya di lingkungan kampus menjadi...
Bagaimana tanggapan mahasiswa dalam menghadapi pesatnya perubahan kurikulum?
"Tidak ada satupun dari kita yang bisa menciptakan perubahan jika kita terus memandang diri kita sendiri sebagai bagian dari kesamaan," sebuah ungkapan yang dikemukakan oleh Gloria Marie Steinem, seorang jurnalis dan aktivis Amerika. Kutipan ini menekankan pentingnya menghargai perbedaan untuk menciptakan perubahan yang positif dalam masyarakat. Sebuah tim yang terdiri dari individu dengan latar belakang yang berbeda secara etnis, budaya, sosial, atau pendidikan akan memiliki lebih banyak kemungkinan untuk memecahkan masalah secara kreatif daripada tim yang homogen.
Namun, sangat disayangkan dalam lingkungan kampus yang seharusnya menjadi tempat yang inklusif dan mendorong kreativitas serta inovasi, minoritas kerap diperlakukan dengan kurangnya rasa hormat ketika mereka mengeluarkan ide-ide baru. Mahasiswa minoritas juga seringkali dihadapkan pada stereotip bahwa nilai-nilai budaya mereka tidak sejalan dengan ekspektasi akademik atau industri. Struktur kekuasaan yang ada di kampus juga dapat menjadi penghalang bagi minoritas yang ingin berinovasi. Posisi-posisi penting sering kali dipegang oleh orang-orang dari mayoritas, yang dapat mempengaruhi keputusan dan alokasi sumber daya sehingga ide-ide dari minoritas tidak mendapat perhatian yang layak.
Stereotip buruk yang dilontarkan terhadap mahasiswa minoritas, termasuk dalam konteks perbedaan ras, agama, dan suku, tidak hanya merupakan masalah moral, tetapi juga menciptakan keadaan yang buruk dan signifikan bagi perkembangan inovasi dan kreativitas di lingkungan kampus. Sangat terlihat dampak yang ditimbulkan yaitu terciptanya hambatan-hambatan yang membatasi mahasiswa minoritas untuk mengeluarkan potensi kreatif diri dalam berinovasi mereka sepenuhnya. Misalnya, mahasiswa yang menganut agama minoritas, mahasiswa yang berasal dari luar Bali dengan daerah terpencil sering menghadapi tekanan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma dan ekspektasi mayoritas, yang mungkin tidak selalu mendukung atau mempromosikan ekspresi kreativitas yang bebas.
Kesempatan berinovasi, dan mengeluarkan ide – ide baru tampak semakin sulit karena semakin banyak orang berperilaku egois atau membentuk kelompok yang memicu terjadinya konflik di lingkungan kampus. Upaya untuk mendorong mahasiswa dalam bersikap toleransi perlu ditingkatkan, terutama dengan mengedukasi mahasiswa tentang pentingnya menghargai perbedaan dan mempraktikkan toleransi. Mahasiswa harus memahami tanggung jawab moral mereka sebagai generasi muda dalam menciptakan lingkungan sosial yang inklusif. Lingkungan yang dapat menjadi wadah inovasi baru dari kalangan manapun sehingga kaum minoritas mampu membuktikan pengaruhnya untuk perubahan. Contoh, Lukas Norman Kbarek, seorang Mahasiswa dari Universitas Pendidikan Ganesha Bali, yang mampu berjuang menjadi finalis Duta Muda ASEAN 2019. Ia menepis segala stereotip tentang orang Papua sebagai minoritas di Indonesia dan juga mampu membuktikan bahwa berada di lingkungan yang menyetarakan keberagaman tanpa memandang latar belakang minoritas menjadi faktor bagi minoritas itu berkembang, berinovasi dan menyuarakan ide-ide mereka. Keterlibatan aktif mereka dalam organisasi kemahasiswaan dapat menjadi tempat yang tepat untuk mengumpulkan mahasiswa dari berbagai suku, agama, dan budaya, serta menjadi sarana untuk memperkenalkan keanekaragaman budaya Indonesia.
Perbedaan adalah suatu keberagaman, yang bisa kita lakukan adalah menerima perbedaan tersebut dan menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan. Perbedaan bukan justru kita jadikan sumber konflik melainkan sebisa mungkin kita jadikan tolak kekuatan untuk membangun kehidupan yang harmonis, damai, dan penuh toleransi, sehingga kedamaian di dunia bisa betul-betul terwujud. Perbedaan yang beraneka ragam, mulai dari kebudayaan stereotip dan persepsi sering kita jumpai di bangku perkuliahan. Mahasiswa memiliki peran penting dalam memperkuat moderasi keberagaman di masyarakat. Mahasiswa dapat berperan sebagai pemimpin dalam memperkuat sikap inklusif dan toleransi di tengah-tengah masyarakat. (tdw, may)